Renungan, 18 September 2023
Renungan Pagi, 18 September 2023
(Roma 3:25)
TB: Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan keadilan-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.
TB II: Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian melalui iman, dalam darah-Nya. Hal ini dibuat-Nya untuk menunjukkan kebenaran-Nya, karena Ia telah membiarkan dosa-dosa yang telah terjadi dahulu pada masa kesabaran-Nya.
(Ibana do dipadiri Debata bahen habangsa parasian marhite sian haporseaon di mudarNa i, asa dipapatar Debata disi hatigoranNa, ala naung dibolus mataNa angka dosa na jolo marhite lambas ni rohaNa.)
Bapak, ibu, saudara/i yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus! Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian melalui iman, dalam darah-Nya. Inilah yang menjadi berita sukacita yang diperdengarkan bagi kita pada pagi hari ini, Yesus adalah pendamaian kita dengan Allah. Hubungan kita dengan Allah yang sebelumnya telah rusak, kini dipulihkan kembali, didamaikan oleh Yesus Kristus. Allah yang adil dan benar, tidak berkenan pada kematian orang fasik. Untuk itu, hubungan yang rusak itu dipulihkan, didamaikan kembali. Dia mendamaikan kita kembali dengan Allah atas inisiatif Allah sendiri, tanpa mempertimbangkan dosa-dosa kita, tanpa menghitung seberapa banyak kebaikan-kebaikan yang kita kerjakan, tanpa bertanya terlebih dahulu kepada kita. Dalam pendamaian ini, manusia tidak dilibatkan sama sekali, murni atas inisiatif Allah sendiri, pendamaian itu dikerjakan di dalam Yesus Kristus. Oleh karena itulah kita beroleh keselamatan, bukan karena usaha kita, supaya jangan ada seorang pun yang boleh menyombongkan dirinya atas status ataupun predikat yang disematkan kepada kita seolah-olah menjadi penentu bagi keselamatan kita. Sebelum nas ini, yaitu dalam pasal 2 (dua) disebutkan bahwa Hukum Taurat dan Sunat tidak menyelamatkan orang Yahudi (2:17-29). Dalam ayat 17-20 dikatakan: Jika kamu menyebut dirimu orang Yahudi dan bersandar kepada hukum Taurat, bermegah dalam Allah, dan tahu akan kehendak-Nya, dan oleh karena diajar dalam hukum Taurat; dapat tahu mana yang baik dan mana yang tidak, dan yakin bahwa engkau adalah penuntun orang buta dan terang bagi mereka yang di dalam kegelapan, pendidik orang bodoh, dan pengajar orang yang belum dewasa, karena dalam hukum Taurat engkau memiliki kegenapan segala kepandaian dan kebenaran. Ayat ini menjelaskan bahwa sebagai orang Yahudi, banyak hal yang boleh mereka banggakan atas status dan predikat yang mereka miliki, tetapi status dan perdikat itu terindikasi hanya sebagai sampul luar, yang membungkus banyak kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Untuk itulah dalam ayat 21-23 dikatakan: Jadi bagaimanakah engkau yang mengajar orang lain, tidakkah engkau mengajar dirimu sendiri? Engkau mengajar: “Jangan mencuri”, mengapa engkau sendiri mencuri? Engkau berkata: “Jangan berzinah”, mengapa engkau sendiri berzinah? Engkau yang jijik akan segala berhala, mengapa engkau sendiri merampok rumah berhala? Engkau sendiri bermegah atas hukum Taurat, mengapa engkau sendiri menghina Allah dengan melanggar hukum Taurat itu?
Bapak, ibu, saudara/i yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus! Bila kita menginventarisir hal-hal yang boleh kita banggakan dalam kehidupan kita pribadi lepas pribadi, mungkin banyak, bahkan sangat banyak. Salah satunya, saudari boleh bangga ketika diterima menjadi mahasiswa di kampus ini. Saya boleh bangga dipilih Tuhan menjadi pendeta dari sekian banyak orang. Demikian juga dengan bapak/ibu dosen lainnya boleh bangga dipilih Tuhan menjadi pendeta, bibelvrouw dari sekian banyak orang. Kita semua boleh bangga menjadi bagian dari lembaga ini, lembaga yang dikenal sebagai persemaian (parsamean). Demikianlah bangsa Yahudi bangga atas keyahudian mereka, bangga sebagai keturunan Abraham, bangga sebagai orang bersunat, bangga sebagai orang yang kepadanya diberikan Hukum Taurat. Berbagai hal yang menjadi kebanggaan kita itu, kiranya jangan dijadikan sebagai tameng yang di belakangnya kita bersembunyi melakukkan berbagai-bagai kejahatan. Dengan predikat ataupun status sebagai keluarga besar STB HKBP, sangat mungkin bahwa orang di luar sana memahami kita sebagai orang yang baik-baik, orang-orang kudus dan suci, karena kampus ini mereka kenal sebagai parsamean, tempat menempa orang-orang yang kelak menjadi pelayan gereja, menjadi Bibelvrouw. Sudahkah kita sungguh-sungguh orang baik, kudus dan suci seperti yang mereka pahami dan harapkan? Mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing, jangan bertanya kepada rumput yang bergoyang. Kita akan menemukan dalam diri kita bahwa banyak hal yang membuat kita tidak layak di sini. Banyak hal yang membuat saya tidak layak sebagai pendeta, banyak hal yang membuat Bibelvrouw tidak layak sebagai Bibelvrouw, membuat Diakones tidak layak sebagai Diakones, dan sebagainya. Kita bangga, bermegah atas semua status dan predikat itu, namun sering bersembunyi melakukan ketidakbaikan di balik status dan perdikat itu, yang karenanya kita sangat tidak layak. Dari segi perilaku dan bahkan pengetahuan, jangan-jangan kaum awam lebih layak menyandang status dan peredikat yang kita miliki, namun tidak demikian. Kini Tuhan masih melayakkan kita meski dengan segala kelemahan dan kekurangan kita, jadi bukan karena kita, bukan karena kebaikan dan kehebatan kita, tapi karena Allah sendiri masih melayakkan kita.
Bapak, ibu, saudara/i yang dikasihi Tuhan kita Yesus Kristus! Demikianlah yang terjadi atas orang-orang Yahudi. Dimana mereka bangga dan bermegah sebagai orang-orang bersunat, bangga dan bermegah karena kepada mereka diberi hukum Taurat, bangga dan bermegah karena mereka adalah anak-anak Abraham. Mereka mengira bahwa dengan semua status dan predikat itulah mereka diselamatkan. Ada sebuah teori, yang disebut dengan teori amfiktioni. Menurut teori amfiktioni ini, bahwa umat Israel bukanlah hanya keturunan Abraham secara biologis, meskipun secara umum kita pahami bahwa Abraham (termasuk Ishak dan Yakub) adalah nenek moyang Israel, tetapi umat Israel adalah juga dari bangsa-bangsa lain yang pada akhirnya sama-sama percaya kepada YHWH; Allah Abraham, Ishak, dan Yakub. Untuk itu, yang lebih penting dalam status dan predikat sebagai umat Israel ataupun keturunan Abraham adalah sungguh-sungguh percaya dan beriman kepada Allah sebagaimana Abraham sungguh-sungguh percaya dan beriman kepada Allah, bukan semata-mata hanya karena hubungan biologis. Dalam kaitan inilah, Yohanes Pembaptis dalam seruannya kepada orang Farisi dan Saduki di padang gurun mengatakan: Janganlah mengira bahwa kamu dapat berkata dalam hatimu: Abraham adalah bapa leluhur kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini! Kualitas keagamaan tidak tergantung pada hubungan biologis dan juga bukan bergantung pada organisasi dunia, melainkan pada iman. Sehebat apapun kita karena hubungan biologis dan unsur-unsur lahiriah lainnya, termasuk sunat dan hukum Taurat, kita tidak selamat karenanya. Keselamatan kita hanya oleh karena Yesus Kristus. Kita didamaikan dengan Allah di dalam Yesus Kristus. Itulah sukacita yang lebih besar pagi hari ini. Kiranya kita hanya bangga dan bermegah karena kita sudah diselamatkan oleh Yesus Kristus, dan hanya oleh Yesus Kristus. Amin!!!
Pdt. Tongam M. Sihombing, M.Th.