Renungan Pagi, Senin 17 Februari 2025
Menjaga Hati, Menjaga Komunitas
Ibrani 12: 15 Alkitab TB 2
Jagalah supaya jangan ada seorang pun kehilangan anugerah Allah, agar jangan tumbuh akar pahit yang menimbulkan kerusuhan dan mencemarkan banyak orang.
Bahasa Yunani
ἐπισκοποῦντες μή τις ὑστερῶν ἀπὸ τῆς χάριτος τοῦ Θεοῦ, μή τις ῥίζα πικρίας ἄνω φύουσα ἐνοχλῇ, καὶ δι᾽ αὐτῆς μιανθῶσιν πολλοί.
Episkopountes mē tis husterōn apo tēs charitos tou Theou, mē tis rhiza pikrias anō phyousa enochlē, kai di’ autēs mianthōsin (hoi) polloi.
_________________________________________________________________________
Ketika saya membaca ayat ini, ingatan saya kembali pada pengalaman dua tahun lalu dalam pelatihan Clinical Pastoral Education di RSK Mojowarno, Jawa Timur (GKJW – G’reja Kristen Jawi Wetan), yang diselenggarakan oleh UEM Departemen Asia dan diterima dengan baik oleh HKBP, sehingga saya berkesempatan untuk mengikutinya. Sebuah perjalanan yang awalnya terasa kurang diinginkan karena beberapa alasan, tetapi ternyata justru sangat diperlukan.
Di sana, kami dipandu oleh seorang supervisor yang akrab kami sapa dengan panggilan “kakak,” sebuah sapaan yang mencerminkan kedekatan emosional yang terjalin dalam hubungan pastoral. Kakak Pdt. Nursini Sihombing, begitu namanya, menolong kami dalam proses mendalam: membongkar luka-luka inner child yang selama ini tersembunyi.
Dalam proses itu, kami membangun rasa percaya satu dengan lainnya dan mengalami penerimaan, suatu tantangan tersendiri bagi orang yang introvert, karena berbagi kisah kehidupan dengan orang yang baru dikenal bukanlah hal mudah. Namun, di antara kritik yang membangun, air mata yang mengalir, pengakuan yang jujur, serta pelukan dan doa yang menguatkan, kami menjalani proses pemulihan yang tidak mudah meski pun para pelayan (kami umumnya para pendeta) dan mungkin proses itu akan terus berlanjut sepanjang hidup kami, sebagai proses perjalanan iman.
Inner Child dan Akar Kepahitan
Setiap manusia memiliki inner child, bagian dari diri yang menyimpan pengalaman, emosi, dan luka dari masa kecil. Inner child yang terluka dapat menjadi akar kepahitan (ῥίζα πικρίας – rhiza pikrias, Ibrani 12:15) yang tumbuh dalam hati dan memengaruhi kehidupan kita. Jika tidak disembuhkan, luka ini akan berkembang menjadi sikap defensif, superioritas semu, atau rasa tidak aman dalam pelayanan dan kehidupan sehari-hari.
Ego dan Luka yang Tidak Disadari
Menurut Sigmund Freud (bapak psikolog), ego adalah bagian dari kepribadian yang menyeimbangkan dorongan naluriah (id) dan nilai moral (superego). Namun, ego sering kali terpengaruh oleh pengalaman masa kecil yang membentuk inner child kita.
- Jika seorang anak sering dikritik, ia mungkin membangun ego yang penuh dengan ketakutan akan kegagalan dan perfeksionisme.
- Jika seorang anak mengalami penolakan, ia bisa mengembangkan ego yang defensif dan sulit mempercayai orang lain.
Inner child yang terluka membentuk ego yang rapuh, yang kemudian menjadi akar kepahitan dalam kehidupan. Akibatnya, kita bisa menjadi orang yang sulit percaya, mudah tersinggung, atau merasa harus selalu membuktikan diri.
Mengakui dan Menghadapi Luka
Allah tidak ingin kita menutupi luka-luka kita, tetapi mengizinkan-Nya untuk menyembuhkan kita. Mazmur 34:19 berkata, “TUHAN itu dekat kepada orang-orang yang remuk hati, dan Ia menyelamatkan orang-orang yang patah semangatnya.” Dalam ayat ini, kata “episkopountes” (ἐπισκοποῦντες) dalam Ibrani 12:15 berarti “mengawasi dengan penuh perhatian” atau “memastikan sesuatu tetap dalam keadaan baik”.
Istilah ini juga digunakan dalam Perjanjian Baru untuk menggambarkan fungsi seorang episkopos (penilik jemaat), yang bertanggung jawab atas kesejahteraan spiritual komunitasnya (misalnya dalam 1 Petrus 2:25 dan Kisah Para Rasul 20:28). Dengan demikian, dalam Ibrani 12:15, makna dari episkopountes lebih dari sekadar melihat, tetapi melibatkan tanggung jawab aktif dalam menjaga iman dan kehidupan rohani bersama.
“…supaya jangan ada seorang pun kehilangan anugerah Allah,” kata yang digunakan adalah ὑστερῶν (husterōn), yang merupakan partisip aktif dari hustereō. Ini menggambarkan seseorang yang kehilangan atau gagal memperoleh kasih karunia Allah, bukan karena Allah menahan kasih karunia-Nya, tetapi karena orang tersebut tidak mau menerimanya atau menjauh dari jalan-Nya.
Inilah panggilan bagi orang percaya: untuk saling menjaga dalam komunitas iman. Kita tidak bisa membiarkan kepahitan tumbuh dalam diri kita atau dalam komunitas, karena kepahitan tidak hanya merusak diri sendiri, tetapi juga berdampak pada orang lain.
Akar kepahitan itu berbahaya karena tumbuh perlahan: mungkin dimulai dari rasa kecewa kecil, lalu berkembang menjadi kebencian yang mendalam. Menimbulkan gangguan, kata ἐνοχλῇ (enochlē) dalam Ibrani 12:15 berarti “mengganggu atau menyebabkan kerusuhan”. Mencemarkan banyak orang, kata μιανθῶσιν (miainthōsin) menunjukkan bahwa kepahitan bisa menyebar dan merusak komunitas iman.
Mencegah Perpecahan dengan Kasih Karunia
Sebagai mahasiswa teologi atau pelayan Tuhan, kita banyak menghabiskan waktu dengan studi tentang dogma, hermeneutika, musik gereja, teologi sosial, biblika, etika, liturgika, dan lainnya. Semua ini penting dalam pelayanan, tetapi di tengah kesibukan itu, sudahkah kita juga memberi perhatian yang cukup untuk menjaga hati kita sendiri?
Di lingkungan kampus dan keasramaan, perbedaan pendapat adalah hal yang wajar karena setiap orang memiliki latar belakang, kebiasaan, dan pola pikir. Hidup di asrama mengajarkan banyak hal, mulai dari mengatur waktu untuk tugas harian, belajar, menjaga kebersihan pribadi maupun bersama, hingga menyesuaikan diri dengan dinamika komunitas. Sementara di kampus, tantangan semakin beragam dengan tugas kelompok, tanggung jawab individu, serta kebiasaan belajar bersama yang menuntut kerja sama dan saling menghormati. Di tengah rutinitas ini, gesekan pasti terjadi. Jika tidak disikapi dengan bijak, perbedaan tersebut dapat berkembang menjadi akar pahit yang merusak kebersamaan.
Pernahkah kita melihat bagaimana kepahitan menyebar dalam komunitas? Seseorang yang merasa tidak dihargai mulai berbicara buruk tentang temannya. Seseorang yang kecewa dengan temannya mulai mengkritik tanpa membangun. Seseorang yang merasa lebih unggul meremehkan pemahaman orang lain.
Jika dibiarkan, komunitas kita akan tercemar, bukan hanya secara relasi, tetapi juga secara rohani. Itulah sebabnya kita dipanggil untuk menjaga kasih karunia Allah.
Bagaimana caranya? Menjaga hati lebih dari sekadar memperdalam pengetahuan teologi. Sebab, teologi yang disertai kasih akan melahirkan kerendahan hati. Alih-alih hanya melihat orang lain yang tampak menjauh dari kasih Tuhan, coba renungkan, mungkin kita sendiri yang tanpa sadar semakin menjauh. Sering kali lebih mudah dan membangun, jika kita bertanya, “Apa yang bisa aku perbaiki agar relasi ini tetap terjaga?” daripada langsung menganggap orang lain yang menjauh. Oleh karena itu, upayakan untuk menyelesaikan konflik dengan segera agar tidak ada kepahitan yang berakar. Perhatikan relasi yang mulai renggang, beranilah mengoreksi diri, dan jalin kembali hubungan agar semuanya tetap berada dalam kasih karunia Tuhan.
Komunitas yang Bersih dari Kepahitan
Komunitas pendidikan teologi semestinya menjadi tempat bertumbuh dalam kasih dan anugerah Tuhan. Jika ada akar pahit dalam hati kita, cabutlah sebelum mencemarkan banyak orang! Mari kita hidup dalam kasih karunia, agar komunitas kita mencerminkan Kristus yang kita gumuli dan kita alami. Amin!🙏
Pdt. Jetti Lisantri Samosir