Ibadah Pagi, Senin, 5 Agustus 2024
Pengkhotbah 5 : 1
Janganlah terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah, karena Allah ada di sorga dan engkau di bumi; oleh sebab itu, biarlah perkataanmu sedikit.
NIV Ecclesiastes 5:1
Do not be quick with your mouth, do not be hasty in your heart to utter anything before God. God is in heaven and you are on earth, so let your words be few.
Terjemahan Langsung,
Jangan cepat dengan mulutmu, jangan tergesa-gesa dalam hatimu untuk mengucapkan apa pun di hadapan Tuhan. Tuhan ada di surga dan kamu ada di bumi, jadi biarlah kata-katamu sedikit.
Jaga Mulut
Memang lidah tak bertulang
Tak terbekas kata-kata
Tinggi gunung seribu janji
Lain di bibir, lain di hati
Syair di atas adalah sebuah sajak dari lagu tinggi gunung seribu janji. Syair lagu ini ditulis oleh Titiek Puspa sebagai kiasan untuk menggambarkan orang-orang yang suka mengobral janji, namun tidak pernah menepatinya. Lidah memang tidak bertulang karena struktur lidah terdiri dari otot daging yang elastis. Keelastisan lidah menjadi faktor dalam mendukung fungsi utamanya sebagai organ manusia untuk berbicara dalam berkomunikasi. Jika kita termenung sejenak, maka apakah kita bisa menghitung berapa banyak perkataan yang telah kita keluarkan dari mulut kita? Sejak kita lahir hingga saat ini, tentu kita sudah tidak dapat lagi menghitung banyaknya kata-kata yang telah kita ucapkan dari mulut kita, sebagai hasil aktifitas dari lidah kita.
Dalam media online, yaitu detik.com.,[1] yang ditulis Fahri Zulfikar, seorang peneliti yang bernama Dr. Louann Brizendine ahli psikiater saraf, dalam bukunya “The Female Brain,” mengemukakan, wanita lebih banyak berbicara dalam satu hari. Perhitungannya menyebutkan bahwa perempuan berbicara sekitar 20.000 kata per hari, sementara pria berbicara sekitar 7.000 kata. Memang hasil penelitian ini masih dipertanyakan oleh Mark Liebermann, seorang profesor linguistik dari Pensylvania, karena menurut Liebermann, penggunaan angka-angka untuk menentukan banyaknya perkataan seorang perempuan kurang tepat. Dia mengatakan, banyaknya perkataan yang keluar dari mulut seseorang bergantung pada karakternya dan topik yang sedang dibicarakan. Meskipun demikian, hasil penelitian Brizendine telah mengindikasikan secara umum bahwa perempuan lebih banyak mengeluarkan kata-kata dari laki-laki. Hal ini dipengaruhi oleh faktor hormon dan saraf yang ada pada seorang perempuan.
Persoalan yang mendasar dalam berbicara bukan pada banyaknya kata-kata tersebut, melainkan pada akurasi dan kebenaran perkataan yang diucapkan. Artinya, seseorang bisa saja tidak banyak berbicara, namun sekali berbicara justru yang diberikan adalah informasi yang salah atau hoax. Berbeda dengan orang-orang yang memberitakan Injil, bisa saja dia memiliki banyak “jam terbang” karena dia bertanggung jawab untuk memberitakan Firman Tuhan kepada semua orang, sehingga banyak mengeluarkan kata-kata. Oleh karena itu, yang menjadi inti dalam sebuah perkataan bukan masalah angka-angka terkait jumlah kata-kata yang diucapkan dari mulut, melainkan apakah kata-kata itu bermakna; perkataan benar, menghibur, menginspirasi, menguatkan, memuji, atau menyembuhkan orang lain, atau sebaliknya, sedikit berbicara, tetapi perkataan itu melukai hati orang lain dan menyakiti perasaan. Akibatnya, relasi antara pribadi menjadi terganggu.
Kita sering kurang berpikir atau mempertimbangkan perasaan orang lain pada saat berbicara. Pada hal perkataan kita telah menyakiti orang lain. Bahkan kita sering tidak menyadari bahwa orang lain telah mendendam kepada kita hanya karena perbuatan kita. Dia telah merencanakan hal-hal jahat tarjadi atas diri kita. Perkataan yang tidak baik, berbohong, kasar, fitnah, dan menghina adalah perkataan yang merendahkan orang lain, mengingkari kebenaran. Perkataan-perkataan seperti itu dapat menghilangkan nyawa orang lain. Sama seperti kesaksian palsu yang dituduhkan orang Yahudi kepada Yesus sangat ampuh membunuh Yesus di Kayu Salib. Demikian juga, Stefanus yang dituduh dengan kesaksian palsu, menyebabkan dia dibunuh dengan hukuman rajam; dilempar dengan batu sampai mati. Narasi-narasi dan ujaran kebencian yang dimuculkan, diberitakan, dibagi dan diwariskan dari generasi ke generasi kepada orang lain bisa menyebabkan pembunuhan atau pembasmian secara massal yang dilakukan kaum mayoritas terhadap kaum minoritas. Hal ini menyebabkan terjadinya diskriminasi, stigma, stereotype, dan injustice gender.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa dalam nas kita saat ini Penghotbah mengatakan, jangan terburu-buru dengan mulutmu, dan janganlah hatimu lekas-lekas mengeluarkan perkataan di hadapan Allah? Menurut Pengkhotbah, perkataan bodoh itu lahir dari banyaknya perkataan yang keluar dari mulut kita. Semakin banyak perkataan yang keluar dari mulut kita, semakin banyak perkataan bodoh yang akan keluar. Dalam peribahasa Indonesia hal itu disebut, “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” (seseorang yang banyak berbicara tetapi tidak memiliki arti dan pengetahuan, sehingga perkataannya tidak berguna).
Mulut yang terburu-buru dan hati yang lekas-lekas mengeluarkan perkataan ditujukan oleh Pengkhotbah kepada orang yang gampang berbicara tanpa berpikir dulu atau merenungkan perkataannya. Dia tidak menganalisis perkataannya, apakah perkataannya itu menyakiti atau melukai perasaan orang lain. Dia tidak perduli bahwa perkataannya itu telah merusak relasi yang terjalin dengan baik atau tidak. Yang penting, dia puas karena telah mengeluarkan semua perkataannya dari perbendaharaan kata yang dimilikinya. Pada hal apa yang diucapkannya tidak memiliki arti.
Sebagai orang Batak, kita juga memiliki petuah yang berkata, “Girgir mananginangi, bangkol manghatahon” (rajin/tanggap untuk mendengar, hati-hati untuk mengucapkannya). Petuah ini mengingatkan orang Batak agar tidak sembarangan untuk mengeluarkan perkataan. Jangan pernah berbicara dan memberi keputusan sebelum lengkap mendengarkan segala informasi dari orang lain. Selanjutnya, dalam berbicara dan memberi keputusan, orang Batak diajarkan agar berhati-hati melakukannya, yaitu dengan memilih kata yang tepat, kepada orang yang tepat, di waktu yang tepat, dan di tempat yang tepat. Mengapa? Karena jika kita salah memilih kata yang hendak kita sampaikan kepada seseorang– meskipun kita adalah benar –maka kita bisa berada pada posisi yang salah, karena kita menyampaikannya dengan tidak tepat. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam berkata-kata, karena melalui perkataan, kita dihukum, dan melalui perkataan itu juga, kita diselamatkan. Dalam Matius 12:37, Yesus berkata, “Karena menurut ucapanmu engkau akan dibenarkan, dan menurut ucapanmu pula engkau akan dihukum.” Artinya, kesaksian benar atau palsu yang kita ucapkan berkaitan dengan keselamatan diri kita sendiri karena Allah yang ada di Sorga, Dia Mahatahu dengan segala yang kita ucapkan. Oleh karena itu biarlah perkataan kita sedikit dan berhati-hatilah dalam mengucapkannya. Mulutmu adalah harimaumu! Amin.
[1] Fahri Zulfikar, “Perempuan lebih Banyak Berbicara Dibanding Laki-laki, Apakah Benar?” Detik.com 04 Mei 2023.
Oleh : Pdt. Dr. Romeo RP. Sinaga (Dosen Sekolah Tinggi Bibelvrouw)