Renungan Pagi, Senin, 15 Januari 2024
“Tetapi barangsiapa menuruti firman-Nya, di dalam orang itu sungguh sudah sempurna kasih Allah; dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia.” (1 Yohanes 2:5 TB1)
“Kita ada di dalam Dia”
Seorang anak, meskipun jauh dari pandangan orangtuanya; atau meskipun jauh di daerah perantauan yang memisahkannya dari orangtuanya, namun anak itu selalu ada di dalam hati dan pikiran orangtuanya. Tidak ada hal apapun yang dapat mengalihkan perhatian dan kasih sayang orangtua terhadap anak-anaknya; jarak dan waktu tidak dapat memisahkan kasih sayang orangtua kepada anak-anaknya. Anak-anak itu selalu terukir dan terpatri jelas di dalam hatinya. Namun yang menjadi persoalan: apakah anak-anak itu tau dan sadar bahwa mereka selalu ada di dalam hati orangtuanya? Apakah anak-anak itu sadar bahwa orangtuanya selalu mendoakan mereka agar sukses, sehat, dan jauh dari marabahaya? Atau apakah anak-anak itu sadar juga bahwa segala pencapaian yang diperolehnya di daerah perantauan itu tidak lepas dari doa-doa orang yang mengasihinya, khususnya doa-doa orangtuanya?
Seandainya anak-anak tahu dan sadar bahwa orangtua selalu mendoakan mereka serta mengharapkan yang terbaik terjadi atas anak-anaknya, tentunya mereka akan selalu mengingat nasihat dan pesan orangtua mereka. Anak-anak tidak akan melenceng dari perintah dan aturan yang diberikan oleh orangtua kepada mereka, yaitu segala nasihat yang diberikan orangtua kepada anak-anaknya pada saat mereka meninggalkan kampung halaman. Namun persaingan ketat dan pengaruh lingkungan dalam mengejar cita-cita dapat menyebabkan anak-anak terjatuh ke dalam kehidupan duniawi atau kedagingan, sehingga lupa terhadap nasihat dan perintah orangtua. Mereka tidak dapat mengendalikan diri terhadap godaan-godaan yang ada di sekitarnya. Akibatnya mereka melakukan berbagai kejahatan dalam mencapai cita-cita.
Kasih sayang orangtua kepada anak-anaknya dapat dijadikan sebagai gambaran kasih Allah kepada umat-Nya. Bahkan kasih Allah melebihi dari kasih orangtua kepada anak-anaknya. Kasih Allah itu kekal dan tidak bergantung pada keberadaan umat-Nya. Kasih Allah adalah hakikat yang tidak dapat disangkal-Nya. Dia mengasihi umat-Nya bukan karena ada prestasi atau kebaikan dari mereka sehingga layak menerima kasih-Nya. Allah memberikan kasih-Nya karena memang Allah mau memberikan kasih itu kepada umat-Nya. Dalam hal ini Allah adalah subjek dari kasih. Tanpa Allah yang menggerakkan, manusia tidak dapat hidup dalam kasih dan mengasihi. Kasih itu sebagai pribadi yang mengalir kepada umat-Nya tanpa dipengaruhi status atau hakikat umat-Nya. Itu berarti, dosa tidak dapat menghambat Allah untuk mengasihi umat-Nya. Sebaliknya, pada saat manusia berdosa di sanalah nyata kasih Allah memberikan pengampunan kepada umat-Nya. Pengampunan terjadi bukan karena ada pertobatan, melainkan karena Allah mau mengampuni di dalam kasih-Nya. Oleh karena itu, pertobatan adalah buah dari pengampunan Allah. Artinya, pertobatan menjadi partisipasi manusia di dalam pengampunan yang diberikan oleh Allah.
Apakah pertobatan itu. Di dalam 1 Yohanes 2:5 dinyatakan bahwa indikasi pertobatan adalah menuruti firman Allah. Firman Allah yang dimaksud bukanlah hanya aturan-aturan atau perintah-perintah yang bersifat lisan atau tulisan, yang diberikan Allah kepada umat-Nya, melainkan firman Allah yang berinkarnasi di dalam Yesus Kristus. Dengan demikian, menuruti firman-Nya itu dimaksudkan adalah menuruti Yesus Kristus sebagai “Sang Firman”. Jika selama ini kita cenderung menuruti keinginan daging atau hawanafsu kita, maka setelah kita menerima Yesus Kristus, kita menuruti segala perintah-Nya. Perintah utama dari Yesus Kristus kepada umat-Nya adalah saling-mengasihi (Yoh. 13:34-35). Oleh karena itu, mereka yang menuruti firman-Nya adalah mereka yang meneladani dan menerapkan kasih Yesus dalam hidup-Nya. Mereka tidak lagi hanya berfokus pada diri sendiri, melainkan telah beorientasi pada kepedulian terhadap orang lain.
Kasih Kristus termanifestasi di dalam sikap yang saling mengasihi. Kasih itu mempribadi dalam diri orang-orang yang beriman. Kasih itu bukan sebuah objek yang dapat dimanipulasi oleh manusia. Sebaliknya, kasih itu adalah subjek yang menggerakkan manusia beriman untuk melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Kasih itu tidak hanya terkurung dalam “kata benda”, tetapi kasih itu melintasi semua kata, termasuk “kata sifat”, “kata keterangan”, dan “kata kerja”. Di dalam “kata sifat”, kasih itu mengalir menjadi karakter dalam diri orang-orang yang beriman; di dalam “kata keterangan” kasih itu adalah sebuah keadaan yang penuh kasih; dan di dalam “kata kerja” kasih itu adalah sebuah tindakan proaktif yang memerhatikan dan memerdulikan orang lain. Benarlah apa yang dikatakan oleh Yohanes. “…dengan itulah kita ketahui, bahwa kita ada di dalam Dia” (ay. 5b). Yohanes mengindikasikan bahwa orang yang menuruti firman Allah adalah orang yang hidup di dalam kasih. Selanjutnya, orang yang hidup di dalam kasih mengindikasikan hidup di dalam Dia. Oleh karena itu, indikasi seseorang menuruti Firman Allah dan hidup di dalam Kristus adalah apabila dia meneladi dan menerapkan kasih Kristus di dalam hidupnya. Amin.
Pdt. Dr. Romeo RP. Sinaga (Dosen Sekolah Tinggi Bibelvrouw)