Renungan, Senin 23 Mei 2022, (1 Petrus 3:12)
“Sebab mata Tuhan tertuju kepada orang-orang benar, dan telinga-Nya kepada permohonan mereka yang minta tolong, tetapi wajah Tuhan menentang orang-orang yang berbuat jahat.” (1 Petrus 3:12)
MENJADI ORANG BENAR
Kata Benar, kebenaran, dan jahat, kejahatan tidak asing lagi dalam selukbeluk dunia Pengadilan, Persidangan, Perkara. Dan melihat nilai materi untuk mencari kebenaran ini sangat mahal, bisa habis sawah dan rumah terjual hanya untuk mencari kebenaran. Jadi Pencarian Kebenaran merupakan hal yang membingungkan banyak orang, tetapi kebenaran merupakan hal yang terbaik di dalam dunia. Anehnya, kita sering bersikap ambivalen terhadap kebenaran yaitu Kita mencari-cari kebenaran, namun kita takut terhadapnya. Di satu sisi kita ingin mengejar kebenaran kemanapun kebenaran membawa kita; di sisi yang lain kita melawan ketika kebenaran itu mulai membawa ke tempat yang tidak kita inginkan (Kutipan: Douglas Groothuis, Pudarnya kebenaran). Kenteks Yohannes 18: 38 Pilatus sebagai Mahkamah Agung menanyakan kepada Yesus “Apakah kebenaran itu”? Pilatus bukan orang yang pertama yang menanyakan pertanyaan ini, sampai saat ini suara itu masih terdengar dimana-mana.
Dari nats ini muncul pertanyaan: “Mudahkah menjadi orang benar”? “Bagaimana menjadi orang benar”? Pada kenyataannya mungkin di dunia ini lebih gampang menjadi orang baik ketimbang orang benar, bukan? Setuju atau tidak setuju saya mengatakan eksisitensi nilai benar atau kebenaran itu bukan didapat dari dunia dan iman Kristen mengatakan bahwa Kebenaran adalah Kristus. Maka menjadi orang benar berarti bersedia melawan arus untuk dan demi Kristus. Bertahan ketika disalah mengerti, dan tidak berusaha menyenangkan semua pihak. Akibatnya, sering kali kita tidak siap untuk dijauhi, dibenci, (istilah bahasa batak “sisogoh do mandok na sintong) atau segudang respons negatif yang besar kemungkinan kita terima. Namun, kita lebih siap menerima Yesus yang dikagumi karena kebaikan-Nya ketimbang Yesus yang dibenci karena kebenaran-Nya
Nats ini merupakan Nasihat dari Petrus kepada jemaat, ketika hidup jemaat dalam keadaan tidak nyaman dan aman, dalam kondisi tekanan. Sebagai kelompok minoritas tanpa perlindungan dari penguasa. Jemaat itu tak punya kemungkinan untuk menang dalam kontes saling memaki atau kampanye hitam. Isi surat ini mencakup banyak hal, tentang keselamatan yang dikaitkan dengan kehidupan etika, hubungan sesama Kristen, penatua, hidup kudus, dan terutama juga tentang hidup dalam penganiayaan. Peringatan yang diberikan Petrus melalui surat ini menekankan pesan supaya jemaat tetap hidup dengan identitas Kristen yang benar walaupun menghadapi penderitaan hidup. Penderitaan ini paling tepat dianggap berada pada masa kaisar Nero, yang membakar hidup-hidup orang Kristen di kota Roma (tahun 64 M). Dari Roma gerakan anti-Kristen bergemuruh dan bisa mengalami imbasnya sampai ke daerah-daerah lain. Karena itu, Petrus menuliskan surat ini untuk mengingatkan dampak penindasan yang bisa menyebar dari Roma ke lima daerah alamat surat ini, meskipun secara lokal mereka sudah mengalaminya. Sehingga oleh karena peneguhan itu Jemaat mampu mengabaikan hinaan serta megajak untuk membalas dengan kebaikan adalah jalan yang lebih bijak, lebih menanamkan dalam hati dan seluruh batin ketenangan jiwa dan kedamainan jiwa dalam Tuhan sebab mata Tuhan tertuju kepada hati yang benar.
Mengutamkan berbuat baik, mengusahakan perdamaian, dan memberkati orang yang berbuat jahat adalah sikap Kristus sendiri (Mat. 5:38-45). Sikap semacam ini, yang juga menginspirasi Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr dalam membangun pemerintahanya dan sikap ini menjadi kekuatan besar yang mengubah kehidupan masyarakat yang dipimpinnnya.
Ajaran tidak membalas kejahatan bukan sekadar etika yang indah, atau sikap mengasihani diri, melainkan hidup berlandaskan pada kekuatan dan kebaikan Tuhan sendiri, mengandalkan Tuhan. Ketika kita membalas kejahatan dengan kebaikan, kita menyerahkan diri pada kebaikan Tuhan yang mendengarkan permintaan tolong kita/ doa kita (Jakobus 5:16). Walaupun hidup penuh ketidakadilan, kita dapat berharap pada kekuatan dan keadilan Tuhan yang akan membalas orang yang berbuat jahat (Mzm. 34). Mempercayakan diri pada keadilan dan kebaikan Tuhan bukan hal yang mudah saat menghadapi tekanan dari lingkungan dan masyarakat setempat. Namun, Tuhan menyediakan komunitas orang percaya yang saling menguatkan (8). Keberadaan teman seiman merupakan bagian dari kebaikan yang Tuhan sediakan dalam menghadapi masa-masa sulit.
Namun perlu kita jaga, bukankah alasan sejati yang membuat kita tegap berpijak di atas kebenaran adalah semata-mata karena kasih? Bukankah untuk tujuan menyembuhkan, dokter harus menyayat kulit dan menimbulkan luka dalam proses operasi bagi pasiennya? Namun, banyak yang salah bertindak. Ada orang yang mengangap bersikap benar adalah tiket untuk seenaknya berbicara menghakimi orang lain yang dianggapnya salah. Dalam kesombongan, ia seperti bebas menghukum orang lain tetapi lupa dengan noda cela hidupnya sendiri. Maka perlu perenungan Orang yang biasa benar belum tentu selalu benar. Karena itu, sepatutnyalah kerendahan hati dan mawas diri menjadi warna utama yang kita bawa dalam hidup setiap waktu. Sebab Kita pun masih dalam proses pembentukan Tuhan. Ada baiknya menyampaikan kebenaran dengan sikap hormat dan positif, lebih menekankan dan mengutamkan kedamiana..
Perenungan/Refleksi
1. Di dalam konteks kita di Indonesia ini, kita memerlukan prinsip hidup dalam kebenaran untuk dapat bertahan dan mempertahankan keberadaan sesama kita, khususnya dalam lingkungan seiman. Sebab masih banyak yang belum seia-sekata dan menimbulkan perpecahan atas dasar perbedaan denominasi dan perbedaan pendapat. Kepentingan diri sendiri (egoisme), kesombongan dan saling memburuk-burukkan merupakan hal-hal yang dapat merusak persatuan kekristenan. Karena itu, pesan Petrus menyapa kita untuk dalam kebenaran yaitu hidup dalam firman Tuhan, mengutamakan hidup dan menang dalam Tuhan.
- Dalam konteks penderitaan hidup, baik karena faktor ekonomi dan diskriminasi tidak boleh menghilangkan prinsip hidup berdamai dengan orang lain. Membawa damai (Mat. 5:9) sebagai anak Allah adalah tantangan yang kompleks karena orang Kristen berhadapan dengan situasi yang sulit. Tapi harus tetap diusahakan. Membawa damai berarti tidak membalas dengan kejahatan, tetapi menciptakan kebaikan dan yakin sepenuhnya pada Tuhan, yang adalah Sang Pembela Keadilan itu, yang mataNya tertuju kepada orang benar.
Mari, jadilah orang benar di hadapan Tuhan. Dan kita tau bahwa kita tidak berdiri sendirian bertindak, Tuhan yang Maha tahu dan Mata Tuhan selalu mengawasi dan setia menolong kita yang hidup dalam kebenaran-Nya, Tuhan akan slalu mampir dan mendengar doa orang benar.
By: Bvr. Deliana Simanjuntak, SH,.MH