Renungan Pagi, Senin, 21 Oktober 2024
1. BE HKBP No. 819:1-2
2. Doa Pembuka
3. Renungan: Yohanes 15:15
4. BE HKBP No. 211: 1
5. Doa Syafaat
6. BE HKBP No. 437:1-2
Yohanes 15:15
Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu, apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku.
Topik: Menjadi Sahabat Yesus
Dalam sebuah berita online, Sesawi.Net, saya pernah membaca kisah inspiratif dari seorang Presiden Amerika Serikat ke-16 (1861-1865), yang bernama Abraham Lincoln.[1] Kisah itu menceritakan kritik seorang Ibu terhadap pidato yang disampaikan oleh Lincoln dalam suatu perjamuan malam. Pada saat itu, Amerika Serikat baru saja mengalami konflik saudara, yaitu antara mereka yang ada di Utara dan Selatan. Dalam pidato tersebut Lincoln mengatakan kepada para undangan atau tamu yang hadir pada perjamuan itu, bahwa orang-orang yang berada di Wilayah Selatan adalah saudara mereka yang sedang melakukan kesalahan. Oleh karena itu, mereka yang ada di belahan Utara, sudah sepatutnya memaafkan atau mengampuni mereka. Namun, setelah Lincoln selesai berpidato, seorang Ibu menggerutu dan berkata kepadanya: “Pak Presiden, mereka yang ada di belahan Selatan itu bukanlah saudara kita; mereka adalah musuh kita. Oleh karena itu, kita harus menghancurkan mereka”. Kemudian Lincoln berkata, “Ibu, bukankah dengan menjadikan mereka (musuh) kita sebagai sahabat, maka musuh itu dengan sendirinya akan hilang atau hancur”
Saudara/i yang diberikati Yesus Kristus, siapakah sahabat dan siapakah musuh bagi kita? Apakah orang yang membenci kita dan yang kita benci, itu adalah musuh kita? Atau apakah kita mengganggap orang yang berbeda pandangan dengan kita adalah musuh kita? Dan orang yang setuju dengan ide kita, maka kita menganggap mereka sebagai sahabat? Siapakah sahabat bagi kita dan Siapakah musuh bagi kita? Bisa saja orang yang kita anggap sahabat, pada hal dia berlaku curang kepada kita. Sebaliknya, orang yang kita anggap musuh ternyata dia yang perduli dan mengasihi kita. Jangan pernah cepat menilai orang lain sebagai musuh dan sebagai sahabat sebelum kita pernah mengalami kebersamaan dengannya dan memahami pola pikir dan cara kerjanya. Sebenarnya musuh itu tidak nyata. Musuh adalah konstruksi berpikir kita terhadap orang lain yang membenci kita dan yang kita benci; orang yang berbuat jahat kepada kita, dan yang tidak sepaham atau seide dengan kita. Mereka itulah yang kita konstruksi sebagai musuh kita.
Yohanes 15:15 mengisahkan tentang perubahan status para murid Yesus, dari seorang hamba menjadi sahabat bagi Yesus Kristus. Perubahan status itu bukan karena ada prestasi para murid itu; atau status mereka telah sama dengan Yesus Kristus. Namun karena Yesus memaknai kembali relasi-Nya dengan para murid. Apakah mungkin status guru dan murid bisa berubah? Status guru dan murid tidak akan berubah, karena status itu adalah fakta yang terjadi. Namun perlakuan seorang guru kepada murid bisa saja berubah, jika guru menyambut dan memaknai para murid itu sebagai sahabat. Status tidak berubah, tetapi pola pikir dan sikap bisa diubah untuk memaknai murid sebagai sahabat. Demikianlah, perubahan status yang terjadi dalam nas kita saat ini. Yesus memaknai kembali relasi-Nya dengan para murid. Jika selama ini, para murid memaknai bahwa relasi mereka adalah relasi murid dengan guru, sebagaimana halnya relasi hamba dengan tuannya, maka Yesus memaknai relasi itu sebagai relasi sesama sahabat. Pemaknaan ini tidak menghilangkan status para murid sebagai hamba, melainkan mengubah pola pikir, bahwa seorang hamba bisa menjadi sahabat jika tuannya memaknainya sebagai sahabat. Yesus merengkuh dan merangkul “kehambaan” mereka di dalam diri-Nya sendiri. Rengkuhan atau rangkulan inilah yang menjadikan para murid sebagai sahabat Yesus Kristus. Di dalam rengkuhan itu, Yesus memberi ruang di dalam hati-Nya untuk dimasuki para murid. Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Saudara/i yang diberkati Yesus Kristus, relasi yang dibangun antara tuan dan hamba adalah relasi vertikal; relasi yang satu mendominasi yang lain, dan yang lain tunduk, patuh, dan taat secara total kepada yang lain di atasnya. Di sana tidak ada kesetaraan, sebaliknya hierarkis dominatif seseorang terhadap orang lain. Relasi yang demikian mengindikasikan adanya otoritas seseorang yang bersifat memaksa dan mengendalikan hidup orang lain. Relasi hierarkis ini menempatkan satu atau sekelompok orang menjadi lebih utama dari orang lain. Status keutamaan ini menjadi landasan legal bagi yang bersangkutan untuk menguasai dan mengendalikan orang lain sesuai dengan keinginnannya. Oleh karena itu, yang dibutuhkan dalam model relasi hierarkis ini adalah ketundukan, ketaatan, dan kepatuhan melakukan perintah yang diberikan pemimpinnya; seorang yang berada di bawah tidak berhak tahu tentang percakapan atau urusan mereka yang ada di atasnya. Sebaliknya, seorang tuan yang berada di atas juga tidak akan memberitahukan apa yang dipercakapkannya atau dipikirkan atau direncanakannya kepada hamba yang berada di bawah relasi hierarkis. Relasi hierarkis adalah relasi yang kurang sehat karena peran hamba hanya melaksanakan dan mewujudkan apa yang disampaikan oleh tuannya tanpa bisa mengkritik.
Yesus membawa perubahan baru dalam relasi-Nya terhadap para murid-Nya. Yesus mengubah pandangan relasi tuan dan hamba di antara guru dan murid yang berkembang saat itu. Ada kecenderungan guru selalu menekankan otoritasnya terhadap para murid, karena para murid dianggap sebagai orang yang tidak memiliki pengetahuan. Berbeda dari pemahaman umum itu, Yesus memaknai hubungan-Nya sebagai sahabat terhadap para murid-Nya. Hubungan itu didasarkan pada relasi yang terjadi dalam Allah Tritunggal, yaitu Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Relasi Tritunggal yang Kudus itu berada dalam relasi dan hakikat yang setara. Atas dasar relasi hakikat Allah Tritunggal itu, Yesus memaknai relasi-Nya dengan para murid dalam relasi yang setara. Meskipun secara status dan hakikat Yesus tidak setera dengan pada murid-Nya. Namun, Yesus bersedia merendahkan diri dan menyamakan diri-Nya dengan para murid-Nya.
Apakah yang menyebabkan Yesus mengatakan, para murid-Nya sebagai sahabat? Dalam relasi-Nya dengan para murid-Nya, Yesus memberitahukan segala yang didengar-Nya dari Bapa kepada para murid-Nya. Itu mengindikasikan bahwa para murid ada di dalam Yesus, dan Yesus ada di dalam para murid. Yesus memberitahukan kepada para murid tentang rahasia (misteri) Allah. Pemberitahuan itu berkaitan dengan pengikut-sertaan para murid dalam misi Allah untuk memberitakan Kerajaan Allah ke seluruh dunia. Para murid diperlengkapi Yesus dengan berbagai kuasa dan karunia di dalam Roh Kudus untuk misi tersebut. Dengan demikian, Yesus memperlakukan para murid tidak sebagai hamba, melainkan sahabat yang menjadi mitra atau patner kerja Allah dalam melakukan misi Allah di dunia ini.
Saudara/i yang diberikati oleh Yesus Kristus, oleh karena itu, status para murid sebagai sahabat itu berangkat dari anugerah Allah di dalam Yesus yang memberi ruang kepada para murid-Nya. Menjadi sahabat Yesus tidak didasarkan pada keinginan orang-orang tertentu yang ingin menjadi sahabat Yesus, melainkan pada kehendak Allah sendiri. Di dalam Yesus, Allah telah mengangkat orang-orang yang dikasihi-Nya sebagai sahabat. Sahabat adalah orang yang selalu berada di sisi kita, pada saat orang lain meninggalkan kita. Sahabat adalah orang yang mau menderita bersama dengan kita dalam mencapai tujuan dan cita-cita bersama. Sahabat adalah orang yang mau berkorban di tengah-tengah penderitaan kita, meskipun kita telah melakukan kesalahan. Dia tidak menyetujui kejahatan dan kesalahan yang kita perbuat, namun Dia tidak meninggalkan kita. Sebaliknya, di tengah keterpurukan akibat kejahatan yang kita lakukan, seorang sahabat selalu ada untuk menyadarkan dan mengingatkan kita agar kita tidak jatuh semakin dalam di tengah-tengah keterpurukan itu.
Apakah kita telah memiliki sahabat yang seperti itu? Berbahagialah kita jika kita memiliki sahabat yang tidak pernah meninggalkan kita di tengah banyaknya persoalan yang kita alami. Namun kita juga perlu mengevaluasi diri, apakah kita juga sudah menjadi sahabat yang baik bagi orang lain? Atau kita memanipulasi persahabatan kita hanya untuk kepentingan diri kita sendiri? Di tengah keraguan mengenai sahabat yang ada di sekitar kita, kita memiliki seorang sahabat yang setia, yang tidak pernah meninggalkan kita, yaitu Yesus Kristus. Kita menjadi sahabat Yesus, karena kemanusiaan kita telah direngkuh oleh Yesus Kristus di dalam diri-Nya. Kesetiaan-Nya telah teruji pada saat Dia mati di Kayu Salib untuk menebus kita yang masih berada dalam dosa. Oleh karena itu, jika Yesus telah menjadikan kita sebagai sahabat-Nya, maka kita terpanggil di dalam iman percaya menjadi sahabat Yesus. Sahabat Yesus dalam melaksanakan misi Allah di dunia ini. Pada saat kita melaksanakan misi Allah di tengah-tengah dunia, pada saat itu, Yesus sebagai sahabat kita selalu ada di tengah-tengah persekutuan kita. Amin.
[1] Sesewi Net, https://www.sesawi.net/artikel-politik-kisah-lincoln-dan-stanton/?amp=1 (diakses 16 Oktober 2024)
Oleh “Bapak Pdt. Dr. Romeo Ronni Panly Sinaga”